Self-diagnosis yang Membutakan Gen-Z
29 November 2024
Gen Z semakin sering melakukan Self-diagnosis, yang menjadi trend terutama terkait dengan kepribadian dan gangguan mental seperti introvert, ekstrovert, bipolar, dan antisosial. Remaja mudah menyebut diri introvert hanya karena nyaman sendiri, padahal introversi melibatkan lebih dari sekadar preferensi sosial. Mereka juga sering keliru menganggap ekstroversi hanya sebagai kecenderungan bersosialisasi, meski ini juga terkait dengan cara seseorang mendapatkan energi dari interaksi sosial.
Gen Z sering salah memahami gangguan mental seperti bipolar dan anti sosial. Mereka menganggap bipolar hanya sebagai perubahan suasana hati yang cepat, padahal kondisi ini melibatkan episode mania dan depresi yang kompleks serta membutuhkan diagnosis medis. Mereka juga keliru mengartikan “anti sosial” sebagai ketidaknyamanan sosial, padahal gangguan ini mencakup perilaku manipulatif dan tidak bertanggung jawab. Kesalahan Trend Self-diagnosis ini berbahaya karena dapat mencegah orang mencari bantuan profesional. Masyarakat perlu meningkatkan pemahaman tentang kepribadian dan gangguan mental melalui edukasi yang tepat dan sumber terpercaya.
Fenomena Trend Self-diagnosis
Fenomena Self-diagnosis melalui kalkulator kesehatan mental di media sosial telah menjadi tren yang menonjol di kalangan Gen Z. Gen Z semakin sering menggunakan kalkulator kesehatan mental di media sosial untuk self-diagnosis. Alat ini, yang tersedia online, menawarkan penilaian cepat dan anonim terhadap kondisi mental. Meskipun bisa meningkatkan kesadaran, ada kekhawatiran tentang akurasi dan reliabilitas hasilnya (Cramer & Inkster, 2017). Gen Z yang menggunakan alat ini tanpa konsultasi profesional kesehatan mental berisiko memperburuk kondisi mereka.
Peningkatan kesadaran dan akses informasi tentang kesehatan mental di kalangan Gen Z memberikan dampak positif, namun juga menghadirkan tantangan. Naslund et al. (2020) melaporkan bahwa sekitar 81% Gen Z mencari informasi kesehatan, termasuk kesehatan mental, melalui internet. Akses informasi yang lebih luas memang meningkatkan pengetahuan, namun orang sering menyebarkan informasi yang tidak akurat dan melakukan diagnosis mandiri. Oleh karena itu, sangat penting untuk menyediakan informasi yang dapat dipercaya dan mudah diakses. Selain itu, penting untuk mendorong Gen Z agar mencari bantuan dari profesional.
PENELITIAN SELF DIAGNOSIS
Berdasarkan penelitian sebelumnya, self diagnosis dapat memberikan dampak negatif dan positif (Ahmed, 2017). Efek kognitif merupakan dampak utama yang menciptakan kebingungan, di mana individu tidak yakin apakah mereka benar-benar mengalami gangguan tersebut. Penelitian ini menemukan bahwa efek kognitif ini sangat relevan. Penggunaan Mental Health Calculator di media sosial seringkali menyebabkan ketidakpastian mengenai kesehatan mental, yang meningkatkan kewaspadaan. Partisipan sering kali menghindari perilaku yang mereka kaitkan dengan gejala tertentu, tetapi usaha ini justru mengganggu konsentrasi mereka. Ketika persepsi tentang abnormalitas meningkat, mereka mulai merasa semakin tidak normal. Hal ini membuat mereka merasa putus asa dan berpikir bahwa gangguan yang mereka alami tidak dapat disembuhkan. Hal ini menunjukkan bagaimana Self-diagnosis melalui media sosial dapat memperburuk ketidakpastian dan perasaan negatif mengenai kesehatan mental, yang berdampak buruk pada kesejahteraan psikologis Gen Z. (TBS.Zero)
Referensi : Ach. Sudrajad Nurismawan., dkk, Unraveling the dangers of mental health self-diagnosis: a study on the phenomenon of adolescent self-diagnosis in junior high schools. KONSELI.Vol 11.no 1 2024. E-ISSN 2355 8359. https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
https://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/konseli/article/view/18039
Tag:
Kategori: